Minggu, 12 Desember 2010

Kram OTAK habis kuliah

Kebetulan, lingkungan kerja saya berisi orang-orang sekolahan semua. Tinggi bangku sekolahnya. Ya peneliti, pengajar di perguruan tinggi, dan sejenisnya. Saya sering mengamati mereka. Sudah tabiat saya kali ya. Maaf-maaf deh.

Ada dua fakta menarik, dua-duanya insyaAllah benar. Satu, dari berita media akhir-akhir ini, bahwa riset-riset kita ga berguna, produktivitas dosen dan peneliti lemah, terbitan ilmiah kita terendah bahkan di Asia. (Untuk berita yang minus-minus begini kita biasanya langsung akrab. Bukan mau menjelek-jelekkan bangsa sendiri)

Dua, fakta lain yang menarik bahwa mereka itu semua, dosen dan peneliti, adalah orang-orang pintar. Mereka sekolah di tempat baik, punya rangking bagus pula. Sudah tahu semua kan bahwa mahasiswa kita kalo kuliah di luar negeri juara semua. Lha, kok produktivitasnya rendah ya? Kenapa begitu kembali ke dunia kerja sehabis kuliah semua menguap? Yang istiqomah hanya 2-3 orang.

Oke lah, banyak yang menganalisa bahwa penyebabnya adalah iklim. Menjadi dosen dan peneliti yang baik capek doang, susah, ga dihargai, gaji kecil, dan lain-lain. Enak kan jadi pejabat saja, enak-enak, dan uang saku .......... mengalir terus ga berhenti. Maka, kalo ada nasib jadi pejabat: itulah segalanya. Itulah hidup yang sukses. Seorang teman saya bilang: "ngapain jadi peneliti, cuma jadi cecunguk doang". Kacian deh!

Akarnya menurut saya, salah satu akar saja barangkali, adalah fenomena KRAM OTAK. Cirinya kita malas berfikir, malas membaca terus referensi baru, menganalisa, menulis, dst. Dari pengalaman kecil saya, mungkin ini ada pengaruh dari kuliah, terutama pasca sarjana, yang terlalu "menyiksa". Menyiksa atau tidak ini sulit dibuat clear, cuma si objek yang bisa merasakan. Kalo dari kampus: "ah ini mah belum seberapa?" Tapi, faktanya kawan, berapa banyak yang sakit dan game di bangku kuliah. Beban kuliah dikombinasikan dengan umur yang agak tua, soal keluarga, keuangan yang seret, serta lingkungan kampus yang ga enak-enak amat: maka komplit lah. Seorang rekan pernah cerita, dari 8-9 orang yang masuk di angkatannya, hanya 1 orang yang lulus seperti dia. Selebihnya gagal, sebagian karena sakit keras, dan sebagian lewat. Seorang ketua jurusan pernah pula sesumbar: jangan coba-coba masuk jurusan ini, banyak yang sakit dan dead lho mahasiswa saya.

Ya, jika gak sakit permanen, setidaknya "kram otak". Ini penyakit ga sadar, ga ada yang tahu bahwa otaknya udah ga jalan. Alam bawah sadarnya langsung trauma lihat bacaan-bacaan serius. Diajak ngomong yang berat2, ya kalo omong-omong bolehlah. Tapi diajak menuliskannya secara ilmiah, waduh. Gelar yang sudah di tangan dianggap akhir dari perjuangan, bukan awal untuk berkarya yang lebih luas.

Apa dan siapa yang salah? Entahlah. Satu hal, semestinya kampus memberi semangat yang besar kepada si calon intelektual, bagaimana caranya ia setelah lulus menjadi produktif. Lebih rajin baca buku, rajin riset, ingin terus mengikuti semua perkembangan terakhir ilmunya, dst. Bukan soal lulus cum laude disertasi dapat A. Hidup mereka masih panjang, kampus hanya saat-saat men-charge ibarat HP, the riel life adalah nanti setelah ia keluar kampus. Di masyarakat.

Ga percaya? Benar atau ga, silahkan saja cermati sendiri. Jika ada yang iseng coba lah kumpulin data, bandingkan antara prestasi di kampus dengan prestasi setelah keluar. Bukan prestasi eselon nya. Aku yakin, banyak yang pada cum laude kuliahnya tapi ngomongin ilmu sendiri belepotan. Nah, jika ada yang kenal ahli otak dan syaraf, minta tolong deh jangan-jangan memang ada yang disebut "kram otak". Kalo judul lagu ada, yang dulu dinyanyiin rapper lokal Iwa K tea.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar