Rabu, 12 Januari 2011

Hotel berbintang: untuk siapa sih ?

Kawan, pasti sudah kenal benar yang namanya hotel berbintang. Bintang 3, 4, 5 dan seterusnya. Ciri pokoknya adalah STANDAR-isasi. Semua standar. Untuk kelas yang sama, maka luas kamarnya sama, lebar layar TV sama, kamar mandi luas dan kelengkapan bahkan peralatannya sama, baunya sama, semua sama. Dimanapun ia, asal berbintang 5, ya semua sama saja.

Lalu, kenapa? Kenapa sewot-sewot amat. Punten-punten nih mau curhat.

Masalahnya sederhana. Biar hotelnya ada di Indonesia, standar yang diterapkan, yang konon katanya itu standar internasional; tidak selalu pas dengan kita-kita. Setidaknya tidak pas untuk saya, atau orang-orang yang mirip saya.

Ya, kalo hotelnya di Indonesia, biar dikata berbintang, kan tamunya ya kita-kita saja. Aku yakin sekali 80-90 persen tamunya muslim dan muslimah, orang Indonesia. Tapi, dengan segala ke-standar-an fisik dan pelayananya itu, ia tak cocok dengan tamu muslim. Ta ada sajadah, tak ada penunjuk kiblat, mau ambil wudu susah minta ampun. Mau wudhu, ada 2 jalan, dua-duanya berbahaya. Pertama pakai wastafel, cuma pas cuci kaki, kaki harus naik. Kalo masih muda sih oke, bayangkan kalo nenek-nenek.

Cara kedua di kamar mandi pake shower tea. Sulitnya adalah yg meganginnya ga ada. Si Selang air itu harus dipencet terus baru keluar airnya. Dan harus masuk ke baskom besarnya itu (apa namanya hot tub ya?). Susah minta ampun. Saya protes keras dengan segala kondisi ini.

Tolong lah pa Manajer, kenali ciri dan kebutuhan tamu-tamu anda. Apa salahnya sih disediakan sajadah dan arah kiblat. Siapa yang larang Anda melakukan itu? Jangan sok internasional lah. "Internasional" atau "global" itu belum harga mati. Ia adalah wadah yang bisa diisi dengan apa saja. Ke-lokal-an kita pun mesti bisa mengisi, dan merevisinya. Ada yang namanya fenomena locally globalization.

Apalagi, menambah toh baik, tidak mengurangi. Anda tidak akan dicap kampungan lah. Saya dukung penuh ini.

******